Thursday, May 14, 2009

Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan

MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN


Oleh:
Yudi Harianto, S.H.

Latar Belakang
Adanya sengketa pertanahan dewasa ini tidak terlepas dari adanya kebutuhan manusia yang terus meningkat akan tanah, yang tidak diimbangi dengan penambahan ketersediaan tanah. Mengakibatkan konsekwesi serius terhadap pola hubungan antara tanah dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan manusia yang berobyek tanah. Setelah terjadinya proses reformasi di segala bidang yang dikehendaki oleh rakyat, ada kecenderungan masyarakat semakin menyadari hak dan kewajibannya. Salah satu akibatnya ialah tuntutan masyarakat yang merasa hak keperdataannya diabaikan selama ini, secara signifikan juga berpengaruh terhadap peningkatan masalah pertanahan.
Tingginya masalah pertanahan tidak hanya meresahkan masyarakat tetapi juga sangat mempengaruhi kinerja Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai pihak yang mempunyai tugas pokok melaksanakan administrasi pertanahan. Masalah pertanahan dapat dipandang dari dua perspektif yang bertolak belakang. Dari kaca mata masyarakat ada anggapan bahwa masalah yang terjadi itu disebabkan buruknya administrasi pertanahan dan kinerja aparat BPN yang tidak profesional. Sedang dari kaca mata BPN ada sinyalemen kuat bahwa hal ini terjadi karena adanya pemalsuan keterangan dari masyarakat, kepala desa bahkan PPAT.
Untuk mengatasi hal tersebut, upaya penanganan masalah pertanahan yang telah dilakukan selama ini melalui dua cara yaitu secara musyawarah dan di depan pengadilan. Sebagai negara yang berasaskan Pancasila dan menjunjung tinggi asas musyawarah untuk mufakat, pertama-tama jika terjadi sengketa diupayakan penyelesaiannya secara musyawarah.
Dalam upaya penyelesaian sengketa para pihak biasanya selain menempuh secara musyawarah juga dengan upaya hukum melalui pengadilan. Namun saat ini upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan dirasakan banyak sekali mengandung kekurangan antara lain:
a. Pengadilan sudah sarat beban
b. Prosedur dan proses sangat birokratis
c. Butuh waktu lama
d. Biaya mahal
e. Posisi para pihak bermusuhan
f. Sidang terbuka untuk umum
g. Pada umumnya pengetahuan hakim generalis
h. Indikasi praktek ”Money Game” (Oknum)
i. Putusan: kalah – menang (win – lose)
j. Putusan: sering kali unreasonable & unpredictable
k. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas putusan;
l. Hambatan pelaksanaan putusan pengadilan
Dalam aspek perdata dan pidana, sengketa pertanahan merupakan kompetensi peradilan umum, sedang dalam aspek administrasi merupakan kompetensi peradilan tata usaha negara (PTUN). Sehingga ada kemungkinan kasus-kasus yang sudah diputuskan dalam peradilan tata usaha negara dapat kembali digugat di peradilan umum, demikian pula sebaliknya.
Putusan inkracht (berkekuatan hukum tetap) satu kasus dapat memakan waktu bertahun-tahun lamanya. Hal ini menambah beban waktu dan tenaga aparat pertanahan dalam berperkara di pengadilan yang dapat mengganggu kelancaran pelayanan pertanahan kepada masyarakat. Selain itu juga menimbulkan rasa was-was atau khawatir adanya kemungkinan gugatan terhadap produk sertifikat hak milik atas tanah yang dihasilkan.
Dengan melihat kelemahan yang ada dalam penyelesaian sengketa pertanahan melalui pengadilan tersebut maka timbul upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan keluarnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam literatur ditemukan berbagai peristilahan yang pada intinya mempunyai maksud yang sama yakni Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA), Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS), Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS). Istilah “alternatif” mengandung pengertian sebagai cara penyelesaian sengketa diluar badan peradilan negara. Penyelesaian sengketa alternatif sebagai bentuk “privatisasi” penyelesaian sengketa dengan mengurangi campur tangan negara (peradilan negara). Penyelesaian sengketa alternatif lebih mengutamakan cara-cara kooperatif sesuai pilihan mereka sendiri, melalui inisiatif dan kemauan bersama para pihak sebagai wujud aktualisasi peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan penyelesaian sengketa.
Meskipun penyelesaian melalui alternatif penyelesaian sengketa hanya dapat dilakukan jika perkara tersebut merupakan perkara perdata, namun perannya diharapkan dapat menyelesaikan sengketa pertanahan dengan prinsip win-win solution. Sehingga tercipta kepastian hukum atas suatu sengketa dan dapat diterima para pihak. Penyelesaian sengketa alternatif (PSA) terdiri dari beberapa model terpenting, yaitu sebagai berikut :
1. Negosiasi;
2. Mediasi;
3. Konsiliasi
4. Arbitrase;
Penyelesaian sengketa melalui penyelesaian sengketa alternatif bukan merupakan bentuk ketidak percayaan pada lembaga peradilan negara, namun lebih bertujuan menghindari perselisihan yang berkepanjangan antar pihak serta membantu peran lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa di masyarakat. Di lapangan peran model alternatif penyelesaian sengketa mulai lebih disukai oleh pencari keadilan karena sifat keputusannnya yang luwes dengan memperhatikan kepentingan kedua belah pihak, dengan biaya murah, sederhana dan cepat dalam memperoleh kepastian hukum.

Sengketa Pertanahan
Sengketa pertanahan merupakan suatu sengketa yang obyek sengketanya adalah hak atas tanah. Para pihak yang bersengketa berselisih mengenai hak atas tanah. Sengketa pertanahan ditinjau dari segi permasalahannya ada beberapa macam, yakni:
a. Persoalan atau sengketa yang menyangkut prioritas (siapa yang lebih berhak) untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atau tanah yang belum ada haknya.
b. Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak (perdata).
c. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang/tidak benar.
d. Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis (bersifat strategis) .
Sengketa pertanahan dapat dibagi menjadi tiga yakni sengketa pertanahan yang bersifat perdata, pidana dan administrasi. Dalam sengketa yang bersifat perdata dan pidana, sengketa pertanahan merupakan kompetensi peradilan umum, sedang dalam bersifat administrasi merupakan kompetensi peradilan tata usaha negara (PTUN).
a. Sengketa Pertanahan Bersifat Administrasi
Menurut Rusmadi Murad, timbulnya sengketa dalam bidang pertanahan yang bersifat administrasi adalah bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Sengketa pertanahan yang disebabkan karena masyarakat dirugikan oleh keputusan pemerintah, pengadilan yang berkompeten untuk mengadili adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.
Keputusan pemerintah yang sering menyebabkan sengketa umumnya adalah perbuatan (hukum) administrasi yang mengandung kekurangan di dalam penetapannya. Faktor-faktor yang menjadi penyebabnya antara lain adalah terlalu luasnya tugas pemerintah, peraturan pelaksanaan (juklak) tidak atau kurang jelas, kurangnya pedoman yang diberikan serta kurangnya pengetahuan teknis aparat pelaksana.
Gugatan untuk sengketa pertanahan yang bersifat administrasi dimana yang digugat adalah pejabat pemerintah yang mengeluarkan keputusan pemerintah (dalam hal ini berkaitan dengan diterbitkan sertipikat hak atas tanah) adalah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun apabila kepada PTUN tidak dapat diminta penyelesaian sengketa tersebut, maka warga negara yang bersangkutan dapat menggugat pemerintah atau pejabatnya tersebut ke Pengadilan Negeri (PN), dalam hal bahwa Pemerintah dikategorikan dalam hal perbuatan melanggar hukum dengan tuntutan ganti rugi. Didalam sengketa yang menyangkut sertifikat hak atas tanah dan adanya pihak lain yang menginginkan pembatalan sertifikat tersebut maka jalur yang bisa ditempuh melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Hal tersebut karena sertifikat hak atas tanah merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). KTUN menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 3 menyatakan bahwa suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata Usaha Negara yang berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 juncto UU Nomor 9 Tahun 2004 bahwa seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi.
Khusus untuk tuntutan ganti rugi dalam PTUN ada batasan maksimalnya, hal ini sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara. Di dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata atas beban Badan Tata Usaha Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara karena adanya kerugian materiil yang diderita oleh Penggugat. Lebih lanjut dinyatakan dalam Pasal 3 bahwa besarnya ganti rugi yang dapat diperoleh penggugat paling sedikit Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), dengan memperhatikan keadaan yang nyata. Ganti rugi yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara jumlahnya tetap dan tidak berubah sekalipun ada tenggang waktu antara tanggal ditetapkannya putusan tersebut dengan waktu pembayaran ganti rugi.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas sangat jelas apabila sesorang atau badan hukum perdata yang menuntut pembatalan sertipikat hak atas tanah di PTUN dengan disertai ganti rugi, ganti ruginya sangat terbatas dan jika dengan tuntutan ganti rugi tersebut kurang memuaskan bagi pihak yang menuntut maka ada peluang lain untuk menuntutnya yaitu ke pengadilan negeri. Upaya hukum dilakukan atas penerbitan sertipikat dengan dasar perbuatan melanggar hukum, dimana tindakan pemerintah memenuhi ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan unsur-unsur yang ada dalam pasal tersebut harus terpenuhi semua untuk dapat dikategorikan bahwa pemerintah melakukan tindakan perbuatan melanggar hukum. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu menggantikan kerugian tersebut.

b. Sengketa Pertanahan Bersifat Perdata
Berdasarkan azas bahwa hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa/memutus perkara dengan alasan bahwa ia tidak mengetahui peraturannya, maka dimungkinkan penyelesaian sengketa mempergunakan proses di Pengadilan Negeri. Dalam hal apabila terhadap suatu keputusan administrasi (beshikking) dapat dinyatakan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) oleh hakim perdata.
Sengketa pertanahan yang bersifat perdata merupakan sengketa yang melibatkan antara individu atau lebih dengan satu individu lain atau lebih. Namun sengketa pertanahan yang bersifat perdata mempunyai karakteristik yang berbeda dengan sengketa perdata lainnya, dimana masing-masing individu saling menuntut hak dan kewajibanya.
Di dalam sengketa pertanahan dua pihak yang bersengketa tidak bisa lepas dari peran pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional, dimana keputusan BPN yang menjadi akhir dari sengketa tersebut. Karakteristik yang berbeda dengan sengketa perdata lainnya tersebut yang membuat penyelesaian sengketa pertanahan menjadi lebih sulit dan memerlukan kehati-hatian.

c. Sengketa Pertanahan Bersifat Pidana
Dalam sengketa pertanahan yang bersifat kepidanaan adalah sengketa pertanahan yang disebabkan oleh suatu perbuatan pidana atau tindak pidana. Pemakaian tanah yang tidak teratur, lebih-lebih yang melanggar hukum dan tata tertib sebagaimana yang terjadi di berbagai tempat sering kali mengakibatkan terampasnya hak-hak atas tanah seseorang atau badan hukum dan bahkan dapat pula menghambat pembangunan.
Guna melindungi tanah-tanah terhadap pemakaian yang tidak teratur dan melawan hukum, maka dikeluarkan Undang-undang Nomor 51 PRP tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak atau Kuasanya. Dalam Pasal 6 ayat (1) undang-undang tersebut menyebutkan:
Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 3, 4 dan 5 maka dapat dipina dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,-
a. Barang siapa memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah, dengan ketentuan bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebunan dan hutan dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut Pasal 5 ayat 1
b. Barang siapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah.
c. Barang siapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2 atau sub dari ayat 1 pasal ini.
d. Barang siapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan tersebut pada Pasal 2 atau huruf b dari ayat 1 pasal ini.
Sedangkan ayat 3 menyebutkan bahwa tindak pidana tersebut dalam pasal ini adalah pelanggaran.
Dari ketentuan di dalam Undang-udang Nomor 51 PRP tahun 1960 tersebut bahwa perbuatan hukum menguasai tanpa ijin yang berhak atau kuasanya adalah merupakan perbuatan pidana.
2. Aspek-Aspek Sengketa Pertanahan
Dalam terjadinya suatu sengketa pertanahan dapat dipandang dari beberapa aspek, yakni aspek substansi sengketa, aspek formal, aspek causaliteit atau penyebab timbulnya sengketa, Aspek para pihak, dan aspek registrasi.
1. Aspek substansial.
Secara substansial dapat bermuatan perselisihan tentang kepemilikan hak milik atas tanah, dalam arti perselisihan mengenai siapakah pemilik sah yang mempunyai hak atas tanah. Perselisihan mengenai batas-batas tanah juga termasuk dalam konteks ini.
1. Aspek formal.
Sistem dan prosedur administrasi pertanahan yang diterapkan untuk dan dalam rangka pendaftaran tanah sering kali menimbulkan sengketa pertanahan. BPN sampai saat ini belum mampu mewujudkan administrasi pertanahan secara nasional. Beberapa kali terjadi kesalahan penetapan hak atas tanah sehingga menimbulkan sengketa. Keadaan demikian itu berpotensi terjadi gugatan yang ditujukan kepada BPN, bahkan pejabatnya. Kebijakan atau putusan dalam bentuk penetapan dari badan pertanahan mengandung risiko hukum yang menjadi tanggung jawab aparat di bidang pertanahan.
2. Aspek causaliteit atau penyebab timbulnya sengketa.
Penetapan atau keputusan lembaga otoritas, dalam konteks ini, dapat menjadi penyebab timbulnya sengketa pertanahan. Selain itu, sengketa perolehan hak milik atas tanah juga dapat disebabkan oleh pemanfaatan tanah, riwayat tanah, persepsi dan pemahaman terhadap peraturan pertanahan, pengetahuan hukum dan kesadaran hukum masyarakat. Karena itu, persoalan penting dalam kaitan dengan sengketa pertanahan adalah menggali penyebab timbulnya sengketa dan penyelesaian sengketa.
3. Aspek Para Pihak
Para pihak dalam sengketa perolehan hak milik atas tanah cukup kompleks, namun dapat dipilah-pilah sebagai berikut: antar instansi/departemen, antara negara c.q. pemerintah melawan privat, dan antara privat melawan privat. Privat dalam konteks ini adalah orang perorangan atau badan hukum, termasuk kelompok masyarakat (masyarakat adat).
4. Aspek Registrasi.
Sengketa hak milik atas tanah bisa terjadi terhadap tanah-tanah yang telah terdaftar/bersertifikat atau tanah yang belum terdaftar/ belum bersertifikat.

3. Penyebab Timbulnya Sengketa Pertanahan
Dalam rangka penyelesaian sengketa pertanahan terlebih dahulu harus mengetahui penyebab yang melatarbelakngi terjadinya sengketa pertanahan. Sengketa pertanahan disebabkan oleh:
1. pemilikan atau penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata;
2. ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan non pertanian;
3. kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;
4. kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah (hak ulayat);
5. lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah.
Berdasarkan hasil suatu penelitian, sumber sengketa pertanahan dapat dilihat pada tabel berikut .
Sumber Sengketa Pertanahan
No Sumber Sengketa Penyebab Sengketa
1 Masyarakat a. pemalsuan keterangan
b. salah lokasi
c. kepemilikan tidak jelas
d. tanda batas tidak jelas
2 Kepala Desa a. pemalsuan keterangan
b. keterangan waris keliru
c. keterangan kepemilikan salah
3 PPAT a. Pemalsuan akta jual beli
b. Luas bidang salah
c. Status tanah tidak jelas
d. Batas kepemilikan keliru
4 Kantor Pelayanan Pajak a. Penyimpangan wajib pajak
b. Penetapan wajib pajak keliru
c. Penetapan NJOP salah
5 Kantor Pertanahan a. Tidak tertibnya administrasi pertanahan
b. Kurang cermat dalam mengidentifikasi letak, batas, dan tanda bukti alas hak

Karena sengketa pertanahan dapat melibatkan banyak pihak, termasuk banyak instansi, maka diperlukan konsistensi antar para pengambil keputusan. Konsistensi demikian itu dapat terwujud jika terdapat kesamaan pemahaman atau persepsi. Dalam konsteks ini, inkonsistensi merupakan persoalan penting untuk diselesaikan. Upaya mencegah inkonsistensi dapat ditempuh dengan berbagai macam cara, antara lain peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan latihan bagi aparat badan pertanahan dan aparat lain yang terkait.

4. Penyelesaian Sengketa Pertanahan
Dalam rangka penyelesaian sengketa, ada tiga hal penting yang perlu dikaji yakni: penyebab timbulnya sengketa, lembaga yang berkompeten untuk menangani sengketa, serta solusi atau putusan yang tepat serta berkeadilan dan berkepastian hukum. Proses penyelesaian sengketa juga harus bertumpu pada suatu mekanisme yang cepat, murah, dan sederhana, terutama untuk sengketa yang diselesaikan melalui pengadilan.
Sengketa pertanahan dapat dipandang dalam tiga perspektif, yakni kepidanaan, administrasi dan keperdataan. Dalam perspektif keperdataan dan kepidanaan, sengketa agraria atau perkara agraria merupakan kompetensi peradilan umum. Dalam perspektif administrasi, sengketa agraria atau perkara agraria termasuk dalam kompetensi peradilan tata usaha negara. Apabila substansi sengketa agraria itu termasuk ke dalam sengketa tata usaha negara, maka peradilan tata usaha negara yang berwenang mengadilinya.
Menurut Peraturan Menteri Negara Agraria No. 9/1999 Penyelesaian sengketa pertanahan yang bersifat administrasi, dapat dilakukan proses pengaduan terlebih dahulu kepada intansi yang mengeluarkan keputusan berupa sertifikat dalam hal ini adalah BPN. Dengan melakukan proses pengaduan dan keberatan terhadap BPN dapat mempercepat selesainya sengketa pertanahan yang bersifat administrasi, sebelum membawa perkara tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengajuan pengaduan dan keberatan atas sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN lebih awal akan meminimalkan dampak kerugian yang ditimbulkan dari sengketa pertanahan tersebut. Namun apabila telah dilakukan tahapan pengaduan dan keberatan terhadap putusan BPN pihak yang bersengketa belum merasa puas, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Badan Pertanahan Nasional melaksanakan tugas penanganan sengketa dan konflik pertanahan, salah satunya berbentuk mediasi. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 23 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006, yaitu:
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan menyelenggarakan fungsi :
a. perumusan kebijakan teknis di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan;
b. pengkajian dan pemetaan secara sistematis berbagai masalah, sengketa, dan konflik pertanahan;
c. penanganan masalah, sengketa dan konflik pertanahan secara hukum dan non hukum;
d. penanganan perkara pertanahan;
e. pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi dan lainnya;
f. pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan yang berkaitan dengan pertanahan;
g. penyiapan pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyelesaian sengketa pertanahan khususnya yang bersifat keperdataan melalui lembaga peradilan umum menjadi pilihan sebagian masyarakat untuk mencari keadilan. Namun yang terjadi adalah tidak adanya kepastian hukum terhadap perkara yang diajukan ke pengadilan tersebut. Dalam sengketa pertanahan dibutuhkan pemikiran yang lebih panjang dan tidak hanyut dalam emosi dari para pihak. Kesadaran dan pengetahuan tentang hukum yang cukup bagi masyarakat akan mengurangi sengketa dan mempercepat penyelesaian sengketa pertanahan.
Dengan sistem peradilan di negara kita yang bertingkat mulai dari tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung membuat penyelesaian sengketa memakan waktu yang lama. Pihak yang tidak puas akan keputusan pengadilan tingkat satu akan melakukan banding ke tingkat dua, kemudian ke tingkat kasasi, bahkan tidak puas akan keputusan Mahkamah Agung melanjutkan dengan mengajukan Peninjauan Kembali. Dengan banyaknya tingkatan peradilan tersebut membutuhkan waktu dan biaya yang besar hanya untuk keadilan yang semu. Beban perkara yang menumpuk di pengadilan juga menyebabkan penyelesaian sengketa pertanahan yang diajukan oleh para pihak menjadi terkatung-katung nasibnya tanpa ada kepastian hukum. Sering kali upaya hukum yang demikian itu memang sengaja dimanfaatkan bagi seseorang yang walaupun mereka menyadari bahwa mereka adalah pihak yang dalam posisi lemah, namun upaya hukum itu ditempuh guna dapat menunda pelaksanaan pembayaran yang diwajibkan kepadanya. Dengan adannya rentang waktu upaya hukum tersebut maka pihak yang kalah tadi minimal ada waktu untuk memenuhi kewajibannya tersebut.
Keputusan pengadilan juga sering kali menimbulkan dampak yang kurang baik dalam masyarakat, walaupun keputusan tersebut telah sesuai dengan hukum positif di negara kita. Misalnya terjadinya keresahan dalam masyarakat yang bersengketa karena putusan pengadilan tersebut. Masih segar dalam ingatan kita tragedi carok di Madura yang mengakibatkan korban nyawa dan ketakutan di masyarakat. Tragedi tersebut dipicu karena putusan hakim pada Pengadilan Tinggi memutus berbeda dengan putusan hakim pada Pengadilan Negeri dan pihak yang dikalahkan tersebut tidak terima sehingga terjadi carok tersebut.
Di lapangan terjadi fenomena yang menarik, bahwa tidak setiap sengketa pertanahan diselesaikan melalui pengadilan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merupakan lembaga yang menjadi sasaran pihak-pihak pencari keadilan. Sudah barang tentu sengketa yang diadukan ke Komnas HAM merupakan sengketa pertanahan yang ada indikasi pelanggaran hak asasi manusia. Namun yang menarik adalah, mengapa mereka tidak menyelesaian perkaranya melalui pengadilan? Hal itu merupakan indikator bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan rendah.




Pengertian Mediasi dan Mediator
Di dalam kepustakaan, setidaknya dapat ditemukan 10 (sepuluh) definisi tentang mediasi yang dirumuskan oleh para penulis. Akan tetapi disini hanya akan dikemukakan tiga definisi yang dirumuskan oleh Moore, Nolan Haley dan Kovach. Moore (1996, hal. 15) merumuskan definisi mediasi sebagai berikut:
“the intervention in a negotiation or a conflict of an acceptable third party who has limited or no authoritative descision-making power but who assists the involved parties in voluntary reaching a mutually acceptable settlement of issues in dispute.
Pihak ketiga yang dapat diterima (acceptability) diartikan, bahwa para pihak yang bersengketa mengijinkan pihak ketiga untuk terlibat ke dalam sengketa dan membantu para pihak untuk mencapai penyelesaian. Akseptabilitas ini tidak berarti, bahwa para pihak selalu berkehendak untuk melakukan atau menerima sepenuhnya apa yang dikemukakan pihak ketiga.
Nolan Haley (1992, hal. 56) mengemukakan definisi mediasi sebagai berikut:
“a short-term, stuctured, task oriented, participatory intervention process. Disputing parties work with a neutral third party, the mediator, to reach a mutually acceptable agreement.”

Kovach (1994, hal. 16) merumuskan definisi mediasi sebagai berikut:
“facilitated negotiation. It is a process by which a neutral third party, the mediator, assists disputing parties in reaching a mutually satisfactory resolution”.
Dari rumusan definisi yang dikemukakan oleh ketiga penulis tersebut, maka dapat ditarik sebuah pengertian tentang mediasi, yang mengandung unsur-unsur berikut:
1. sebuah proses penyelesaian sengketa yang berdasarkan perundingan;
2. pihak ketiga netral yang disebut mediator terlibat dan menerima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan itu;
3. mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian atas masalah-masalah sengketa;
4. mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan-keputusan selama proses perundingan berlangsung;
5. tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengahiri sengketa.
Didalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pengaturan mengenai mediasi kurang memadai sehingga mendorong dikeluarkannya ketentuan terkait yaitu Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Peraturan Mahkamah Agung tersebut memberikan pengertian, tahap pramediasi, proses mediasi, serta tempat dan biaya mediasi.
Didalam Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003, pengertian mediasi disebutkan pada Pasal 1 butir 6, yang berbunyi “Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator.” Disini disebutkan kata mediator, yang harus mencari “berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa” yang diterima para pihak. Pengertian mediator, disebutkan dalam Pasal 1 butir 5, yaitu: “Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa”.
Moore membedakan mediator ke dalam tiga tipologi, yakni:
1. sosial network mediators;
2. authoritative mediators;
3. independent mediators.
Tipologi mediator sosial network mediators adalah mereka-mereka yang menjalankan peran sebagai mediator dalam sebuah sengketa atas dasar-dasar adanya hubungan sosial antara si mediator dengan para pihak. Mediator dalam tipologi ini merupakan bagian dari sebuah jalinan atau hubungan sosial yang ada atau tengah berlangsung. Seseorang yang membantu menyelesaikan sengketa, misalnya antara dua tetangganya, rekan kerjanya teman usahanya atau antara kerabatnya digolongkan dalam tipology sosial network mediators. Begitu pula, jika seorang tokoh masyarakat atau tokoh agama yang dikenal oleh pihak-pihak yang bersengketa membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi dapat digolongkan ke dalam mediator hubungan sosial.
Autoritatif mediator adalah mereka-mereka yang berusaha membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan di antara mereka, tetapi si mediator sesungguhnya memiliki posisi yang kuat atau berpengaruh, sehingga mereka memiliki potensi atau kapasitas untuk mempengaruhi hasil akhir dari sebuah proses mediasi. Akan tetapi, seorang mediator autoritatif selama ia menjalankan peran sebagai mediator tidak menggunakan kewenangan atau pengaruhnya itu karena didasarkan pada keyakinan atau pandangannya, bahwa pemecahan yang terbaik terhadap sebuah kasus bukanlah ditentukan oleh dirinya selaku pihak yang berpengaruh atau berwenang, tetapi harus dihasilkan oleh upaya-upaya pihak-pihak yang bersengketa sendiri. Namun dalam situasi tertentu, seorang mediator autoritatif mungkin akan memberikan batasan-batasan kepada para pihak dalam upaya mereka mencari pemecahan masalah. Selain itu seorang mediator autoritatif mungkin juga memberikan semacam ancaman kepada para pihak, bahwa jika para pihak sendiri tidak dapat mencari pemecahan masalah melalui pendekatan kolaboratif atau koopereatif, maka si mediator autoritatiflah yang akhirnya membuat keputusan untuk penyelesaian yang harus diterima oleh para pihak.
Mediator mandiri (independen), adalah mediator yang menjaga jarak antara para pihak maupun dengan persoalan yang tengah dihadapi oleh para pihak. Mediator tipologi ini, lebih banyak ditemukan dalam masyarakat atau budaya yang telah mengembangkan tradisi kemandirian dan menghasilkan mediator-mediator profesional. Anggota-anggota dalam masyarakat seperti ini cenderung lebih menyukai permintaan bantuan kepada “orang luar” yang tidak memiliki hubungan sosial sebelumnya dengan mereka dan tidak memiliki kepentingan pribadi tertentu dengan para pihak atau terhadap masalah yang timbul. Anggota-anggota masyarakat itu lebih mengandalkan pada para profesional spesialis dalam menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi. Model mediasi ini dapat dilihat atau dibuktikan dengan telah lahir dan berkembanganya profesi mediator seperti halnya profesi pengacara, akuntasi dan dokter, misalnya PMN (Pusat Mediasi Nasional).
Menurut Golberg dan Rekan (1985) ada 4 (empat tujuan) Penyelesaian Sengketa Alternatif:
- Mengurangi kemacetan di pengadilan;
- Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa
- Memperlancar jalur keadilan;
- Memberikan kesempatan bagi tercapainya penyelesaian sengketa yang menghasilkan keputusan dapat diterima oleh semua pihak.
Mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara suka rela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam sebuah persengketaan.
Dalam melaksanakan tugas menyelesaiakan suatu sengketa, seorang mediator bila perlu dapat melakukan kaukus yaitu pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya. Pembicaran atau diskusi-diskusi yang dilakukan oleh salah satu pihak tersebut dilakukan dengan itikat baik dan tanpa adanya prasangka. Dengan melakukan kaukus diharapkan seorang mediator dapat memberikan penilaian serta pemahaman kepada pihak tersebut secara obyektif dari keseluruhan situasi.
Pihak mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memberi putusan terhadap sengketa yang dihadapinya, melainkan hanya berfungsi untuk membantu dan menemukan solusi terhadap para pihak yang berseketa tersebut. Pengalaman, kemampuan dan integritas dari pihak mediator diharapkan dapat mengefektifkan proses negosiasi di antara para pihak yang bersengketa.
Mediator dalam menyelesaikan sengketa yang diajukan kepadanya harus tetap bersifat netral, selalu membina hubungan baik, berkomunikasi dengan para pihak dengan baik, meminimalkan perbedaan-perbedaan, dan menitikberatkan persamaan. Sehingga antara para pihak tidak akan terjadi saling mencurigai, salah pengertian, salah persepsi, kurang komunikasi, bersikap emosi, bersikap menang-kalah dan sebagainya. Tujuannnya adalah membantu para pihak memahami aspek-aspek hukum yang disengketakan serta dampak yang ditimbulkan, sehingga tercapai keputusan yang bisa diterima oleh kedua belah pihak.
Mediasi dibagi menjadi 2 (dua) yaitu, mediasi yang dilakukan melalui pengadilan dan mediasi yang dilakukan melalui di luar pengadilan. Mediasi yang dilakukan di pengadilan telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003. Mediasi dalam pengadilan merupakan implementasi dan sarana atas saran hakim di dalam suatu peradilan kasus keperdataan, yaitu hakim wajib menyarankan kedua belah pihak untuk melakukan perdamaian sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Jika pada masa lalu saran hakim hanya sebagai syarat dalam beracara di peradilan, karena ada anggapan bahwa dua belah pihak yang membawa masalahnya ke pengadilan berarti mereka sudah tidak bisa didamaikan, juga pada masa lalu tidak ada sarana dari proses mendamaikan kedua belah pihak di pengadilan.
Dengan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003 dan telah disediakannya fasilitas pendukung berupa ruang khusus untuk mediasi serta seorang mediator, maka proses perdamaian dapat dilakukan di pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Sehingga kepastian hukum yang dicari oleh kedua belah pihak dapat tercapai.
Mediasi yang dilakukan di luar pengadilan adalah sebetulnya merupakan cara lama yang merupakan ciri dari bangsa kita yaitu musyawarah mufakat. Masyarakat Indonesia memiliki ciri dan budaya musyawarah mufakat, dalam hal ini jika terjadi suatu sengketa maka kedua belah pihak terlebih dahulu mengadakan pertemuan guna menyelesaiakan masalah mereka. Namun dengan berkembangnya peradaban manusia dan semakin kompleks masalah hukum yang terjadi di masyarakat, maka dalam bermusyawarah tersebut para pihak membutuhkan seorang yang mengerti tentang perkera yang mereka sengketakan guna memfasilitasi kepentingan para pihak. Mediasi di luar pengadilan bisa dari seorang yang mampu menjadi seorang mediator atau melalui bantuan Pusat Mediasi Nasional.
Namun dalam suatu sengketa pertanahan, dimana masing-masing pihak beranggapan pihaknya yang benar dan menganggap pihak lawan yang salah dan harus kalah, sulit untuk melakukan musyawarah antara meraka yang bersengketa. Disinilah peran seorang mediator, dapat menguasi emosi kedua belah pihak dengan wawasan yang luas tentang hukum khususnya hukum agraria / pertanahan, membimbing, mengarahkan dan menunjukkan tentang masalah hukum yang mereka sengketakan.



Keuntungan Mediasi
Penyelesaian sengketa pertanahan melalui mediasi mempunyai keuntungan penyelesaian sebagai berikut :
b. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relatif murah dibandingkan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau arbitrase.
c. Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, jadi bukan hanya pada hak-hak hukumnya.
d. Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
e. Mediasi memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya.
f. Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit diprediksi, dengan suatu kepastian melalui konsensus.
g. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya.
h. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiri setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim di pengadilan atau arbiter pada arbitrase.

Prinsip-prinsip Mediasi
Prinsip-prinsip mediasi terdapat dalam beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 199 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta Peraturan Mahkamh Agung Nomor 2 Tahun 2003, yaitu:
a. Prinsip Penyelesaian Sengketa Perdata
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi yang merupakan bagian dari Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA), sengketa yang dapat diselesaikan adalah sengketa perdata. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Pasal 6 ayat (1) bahwa: Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Setalah dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka proses mediasi diintegrasikan di Pengadilan Negeri, sesuai dengan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 bahwa dalam sidang hari pertama yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak yang berperkara terlebih dahulu menempuh mediasi.


b. Prinsip Kebebasan Memilih Mediator
Dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi para pihak memiliki kebebasan untuk memilih siapa yang akan bertindak sebagai mediator. Prinsip ini terdapat dalam Pasal 6 ayat 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, yang menyebutkan bahwa “Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.”
Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1999, bahwa “Dalam waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama, para pihak dan atau kuasa hukum mereka wajibberunding guna memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan.”
Dengan adanya kebebasan untuk memilih mediator merupakan kelebihan dari penyelesaian sengketa melalui mediasi, jika dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Karena dalam proses penyelesaian sengketa di pengadilan, para pihak tidak mempunyai kewenangan untuk memilih hakim mana yang akan menyidangkan sengketa tersebut. Pemilihan hakim untuk menyidangkan suatu sengketa di pengadilan adalah mutlak kewenangan Ketua Pengadilan. Karena pengetahuan hakim yang umum/ generalis, terbuka kemungkinan suatu persidangan dipimpin oleh hakim yang tidak menguasai substansi perkara yang disidangkan tersebut.
Berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui mediasi, para pihak dapat menentukan sendiri siapa yang akan menjadi mediator dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang perlu dikedapankan adalah mediator tersebut mengetahui dan menguasai tentang perkara yang disengketakan, juga dia bisa bersifat profesional dan netral. Disamping itu seorang mediator yang dipilih sebaiknya adalah orang yang menguasi prinsip-prinsip mediasi, hal ini diperlukan agar seorang mediator dapat menjalankan fungsi secara profesional.

c. Prinsip Kerahasiaan Proses Mediasi
Prinsip kerahasiaan proses mediasi merupakan salah satu kelebihan penyelesaian sengketa melalui mediasi bila dibandingkan dengan penayelesaian sengketa di Pengdilan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 bahwa “Proses mediasi pada asasnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para pihak menghendaki lain.
Prinsip kerahasian dalam proses mediasi tersebut tertuang di dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003, yaitu:
1. Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lainnya.
2. Fotokopi dokumen dan notulen atau catatan mediator wajib dimusanahkan.

Dari ketentuan pasal tersebut, jelas bahwa penyelesaian sengketa dengan mediasi sangat menjaga kerahasiaan para pihak, untuk itu seorang madiator dituntut untuk bersifat profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai mediator. Dengan demikian para pihak yang bersengketa dalam proses mediasi akan lebih terbuka dan bekerjasama dengan mediator untuk menyelesaikan sengketanya tanpa ada rasa was-was bahwa pernyataan maupun pengakuannya akan menjadi boomerang jika tidak terjadi kesepakatan.

d. Prinsip Pelaksanaan Hasil Mediasi Berdasarkan Etikat Baik
Mediasi pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga sebagai mediator. Pihak ketiga tersebut ditunjuk atas kesepakatan kedua belah pihak dan harus bisa bersifat netral. Sedangkan hasil akhir yang dicapai adalah kesepakatan para pihak. Sebagaimana kesepakatan pada umumnya, kesepakatan yang dihasilkan dalam proses mediasi tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Oleh karena itu untuk dapat melaksanakan hasil mediasi tersebut tergantung dari etikat baik dari para pihak. Apabila salah satu pihak dengan sengaja tidak mau melaksanakan hasil akhir mediasi, maka hasil kesepakatan tersebut tidak dapat dipaksanakan untuk dilaksanakan.

e. Prinsip Biaya Mediasi Ditanggung Para Pihak
Tentang biaya mediasi Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 membedakan antara: (1) biaya mediasi di pengadilan dengan mediator hakim; (2) biaya mediasi yang diselenggarakan di tempat lain yang disepakati oleh para pihak.
Dalam Pasal 15 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak dikenakan biaya. Dalam mediasi yang menggunakan mediator seorang hakim, tidak dikenakan biaya. Hal ini diatur dalam Pasal 15 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003, yaitu “Penggunaan mediator hakim tidak dipungut biaya.”
Untuk mediasi yang menunjuk mediator dari luar daftar mediator di pengadilan, maka biaya ditanggung para pihak berdasarkan kesepakatan. Demikian pula tempat pelaksanaan mediasi tergantung pilihan para pihak, oleh karena itu biaya baik menyangkut transportasi, akomodasi, maupun honorarium seorang mediator adalah merupakan tanggung jawab para pihak.

f. Prinsip Kebebasan Para Pihak Dalam Menentukan Tempat Pelaksanaan Mediasi
Tempat pelaksanaan mediasi tergantung dari kesepakatan para pihak serta dapat disetui oleh mediator. Para Pihak dan mediator dapat menentukan sendiri tempat pelaksanaan mediasi sesuai dengan kesepakatan mereka. Dengan keluarnya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003, maka pelaksanaan mediasi dapat dilakukan di salah satu ruangan di pengadilan yang telah disediakan atau tempat lain yang disepakati para pihak. Dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 disebutkan bahwa mediasi dapat diselenggarakan di salah ruang pengadilan tingkat pertama atau tempat lain yang disepakati oleh para pihak.

Penyelesaian Sengketa Pertanahan dengan Mediasi
Hakim memegang kekuasaan tertinggi dalam persidangan. Sedangkan dalam mediasi, kekuasaan tertinggi ada di para pihak masing-masing yang bersengketa. Mediator sebagai pihak ketiga yang dianggap netral hanya membantu atau memfasilitasi jalannya proses mediasi saja. Hasil dari proses persidangan adalah putusan hakim. Sedangkan proses mediasi menghasilkan suatu kesepakatan antara para pihak.(mutually acceptable solution). Kesepakatan para pihak ini lebih kuat sifatnya dibandingkan putusan pengadilan, karena merupakan hasil dari KESEPAKATAN para pihak. Artinya kesepakatan itu adalah hasil kompromi atau jalan yang telah mereka pilih untuk disepakati demi kepentingan-kepentingan mereka. Sedangkan kalau dalam putusan pengadilan itu kan ada pihak lain yang memutuskan, yaitu hakim. Dengan kata lain putusan pengadilan itu bukan hasil kesepakatan para pihak.
Timbul pertanyaan, yaitu apakah mediasi merupakan suatu kewajiban atau tidak. Apabila menilik pada Peraturan Mahkamah Agung, mediasi itu bersifat mandatory atau wajib. Mediasi ini sebenarnya dibentuk untuk memberdayakan pasal 130 HIR dan 154 Rbg. Dalam Pasal tersebut dikatakan bahwa “pada hari yang ditentukan, jika kedua belah pihak menghadap ke pengadilan dengan perantara keduanya maka hakim mencoba mendamaikan,” artinya ketua majelis wajib mencoba mendamaikan para pihak. Kalau misalnya hakim atau ketua majelis tidak menawarkan perdamaian maka itu batal demi hukum. Salah satu bentuk usaha untuk mendamaikan tersebut adalah melalui proses mediasi. Oleh karena itu dalam Peraturan Mahkamah Agung nomor 2 tahun 2003 ini mediasi bersifat wajib.
Dalam kaitannya dengan mediasi, Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
Mediator tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dengan kata lain mediator disini hanya bertindak sebagai fasilitator saja. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah atau sengkata yang dihadapi para pihak, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak berada pada mediator tetapi berada di tangan para pihak yang bersengketa.
Mediasi mempunyai sifat yang tidak formal, kemauan sukarela dari para pihak, melihat kedepan, kooperatif dan berdasarkan kepentingan para pihak. Dengan bekal berbagai kemampuan yang dimilikinya, mediator diharapkan mampu melaksanakan perannya untuk menganalisis suatu sengketa (dalam hal ini sengketa pertanahan) yang dibawa oleh para pihak yang bersengketa tersebut. Mediator kemudian mendisain serta mengendalikan proses mediasi untuk menuntun para pihak mencapai suatu kesepakatan yang sehat serta membantu pertukaran informasi dan proses tawar menawar para pihak. Seperti halnya hakim, mediator harus dapat tidak berpihak dan bersifat netral pada para pihak, tetapi mediator tidak mencampuri untuk memutuskan dan menetapkan suatu keluaran substantif, para pihak sendiri yang akan memutuskan apakah mereka setuju atau tidak.
Berkaitan dengan penyelesaian sengketa pertanahan, maka prinsip-prinsip mediasi hanya dapat diterapkan dalam sengketa pertanahan sebagai akibat hubungan keperdataan, serta sengketa mengenai ganti kerugian akibat adanya Keputusan Tata Usaha Negara.
Mediasi yang merupakan bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan atas kemauan dan didasari oleh itikat baik para pihak dalam menyelesaikan masalahnya, begitupun hasil yang dicapainya. Pelaksanaan hasil dari mediasi bergantung dari itikat baik para pihak untuk melaksanakan hasil mediasi tersebut. Dua belah pihak yang telah menyepakati hasil mediasi, dapat sepihak tidak melaksanakan hasil mediasi tersubut dan pihak lain tidak juga tidak memaksakan supaya para pihak melaksanakan hasil mediasi. Dengan demikian hasil suatu mediasi hanyalah suatu kesepakatan para pihak untuk melaksanakan hasil mediasi guna menyelesaikan sengketa yang mereka hadapi.
Sebagaimana diuraiakan sebelumnya bahwa mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan harus bersifat netral. Sedangkan hasil akhir dari sebuah mediasi adalah kesepakatan para pihak. Oleh karena hasil akhir akhir yang akan dicapai adalah kesepakatan, maka hanya sengketa-sengketa perdata di bidang pertanahan saja yang mungkin untuk diselesaikan melalui proses perdamaian para pihak, sesuai dengan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Pasal 6 ayat (1) bahwa sengketa yang dapat diselesaikan adalah sengketa perdata, yaitu: Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Dalam sengketa pertanahan yang disebabkan adanya Keputusan Tata Usaha Negara, hanya mungkin dilakukan proses mediasi terhadap ganti kerugian yang disebabkan terbitnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Sebagaimana diketahui terbitnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara berupa sertifikat dapat juga menyebabkan kerugian terhadap seseorang ataupun badan hukum. Bagi mereka yang merasa dirugikan atas Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri ataupun menempuh upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan berupa mediasi. Dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri, maka berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003, maka harus ditempuh terlebih dulu proses mediasi. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib terlebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator.

Akhir Mediasi
Jika mediasi mengalami kegagalan, diamana para pihak tidak dapat bersepakat, maka proses mediasi tersebut dapat dilanjutkan ke ARBITRASE atau ke PENGADILAN. Untuk itu, terdapat 2 pilihan yang berbeda sebagai berikut:
1. Berdasarkan Pasal 6 ayat (9) Undang-undang No. 30 Tahun 1999, jika upaya mediasi tidak dapat dicapai, para pihak berdasarkan kesepakatan tertulis dapat mengajukan upaya penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.
2. Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Peraturan Mahmakah Agung No. 2 Tahun 2003, jika dalam waktu yang telah ditetapkan mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim di pengadilan negeri yang sedang menangani perkara tersebut. Jadi, setelah diterimanya pemberitahuan tertulis tentang kegagalan mediasi, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.
Hasil akhir dari mediasi adalah kesepakatan para pihak yang bersengketa. Sebagaimana kesepakatan pada umumnya, maka kesepakatan hasil mediasi tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Oleh karena itu untuk dapat melaksanakan kesepakatan hasil mediasi hanya tergantung dari etikat baik para pihak. Apabila salah satu pihak dengan sengaja tidak mau melaksanakan kesepakatan dari hasil proses mediasi, maka kesepakatan tersebut tidak dapat dipaksakan untuk dilaksanakan.
Mediasi yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003, mengatur tentang kesepakatan yang dicapai pada proses mediasi tersebut. Kesepatakan yang dihasilkan dalam proses mediasi di pengadilan dirumuskan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak. Dalam kesepakatan yang dihasilkan tersebut wajib memuat klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai, dan para pihak memberitahukan kepada hakim bahwa telah tercapai kesepakatan. Hakim kemudian dapat mengukuhkan kesepakatan tersebut sebagai suatu akta perdamaian.

Upaya Hukum Setalah Terjadi Kesepakatan
Agar hasil mediasi berupa kesepakatan para pihak tersebut dapat dilaksanakan para pihak dan mempunyai kekuatan eksekutorial, maka diperlukan upaya hukum selanjutnya. Dalam proses mediasi yang dilaksanakan di pengadilan telah diatur dengan Perma No 2 Tahun 2003. Para pihak dalam mediasi yang terintegrasi di pengadilan mempunyai dua opsi jika terjadi kesepakatan, yaitu:
1. Para pihak bersepakatan akan hasil proses mediasi dan melakukan pencabutan atas perkara yang didaftarkan di pengadilan negeri tersebut.
Apabila para pihak memilih pilihan ini, maka hasil mediasi tersebut sama dengan hasil mediasi di luar pengadilan yaitu kesepakatan para pihak. Kesepakan yang disetujui para pihak tersebut sama dengan perjanjian yang mengikat para para pihak didalamnya, sesuai dengan pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Jadi walaupun suatu kesepakatan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, tetapi apabila terjadi salah satu pihak tidak melaksanakan hasil kesepakatan tersebut, maka seperti perjanjian pada umumnya pihak tersebut dapat digugat dengan dasar wanprestasi. Oleh sebab itu, meskipun kesepakatan dalam proses mediasi tidak harus tertulis tetapi agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam pelaksanaan kesepakatan atau pengingkaran terhadap hasil kesepakatan, maka kesepakatan dari hasil mediasi tersebut sebaiknya dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani para pihak. Dalam kesepakatan tersebut dengan jelas dituliskan klausula-klausula yang disepakati dan tidak menimbulkan penafasiran ganda.
Karena mediasi diluar pengadilan merupakan itikat baik para pihak yang bersengkata untuk menyelesaiakan perkara mereka, maka dengan itika baik pula para pihak melaksanakan kesepakatan tersebut. Tetapi karena kesepakatan tersebut tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, maka untuk dapat mempunyai kekuatan eksekutorial harus mempunyai putusan pengadilan. Berbeda dengan mediasi di pengadilan kesepakatan para pihak dapat mempunyai kekuatan ekseuktorial. Dalam mediasi di luar pengadilan, inisiatif para para pihak diperlukan agar kesepakatan tersebut berkekuatan eksekutorial, salah satunya adalah dengan mendaftarkan gugatan kepengadilan negeri atas sengketa mereka walaupun telah terjadi kesepakatan.Berdasarkan gugatan tersebut, dilakukan proses perdamaian dengan diterbitkannya akta perdamaian oleh hakim pengadilan. Hal tersebut karena dalam pengadilan harus menggunakan hukum acara perdata yang berlaku, dimana dasar dari putusan hakim adalah adanya gugatan yang diajukan oleh pihak Penggugat.
Itikat baik baik para pihak dalam pelaksanaan hasil kesepakatan mediasi harus dikedapankan, karena dengan pelaksanaan kesepakatan sengketa pertanahan tersebut dapat dianggap selesai. Untuk itu agar tidak menimbulkan sengketa baru melaksanakan hasil kesepakatan mediasi dengan sesegera mungkin adalah jalan utama, karena dengan mengulur-ulur waktu pelaksanaan hasil kesepakatan maka memungkinkan munculnya permasalahan baru ataupun muncul faktor-faktor yang mempengaruhi para pihak untuk tidak melaksanakan kesepekatan tersebut. Apabila sengketa pertanahan tersebut berkaitan dengan produk Keputusan Tata Usaha Negara / Sertifikat Hak atas Tanah, maka tindakan hukum yang dapat dilakukan adalah mengganti kepemilikan hak atas tanah sesuai dengan kesepakatan para pihak tersebut, dengan cara paling mudah adalah melakukan hibah dan untuk kemudian didaftarkan ke BPN agar diterbitkan sertifakat baru sesuai dengan kesepakatan dari proses mediasi tersebut.


2. Para pihak memberitahukan kepada hakim, bahwa telah terjadi kesepakatan kemudian hakim mengukuhkan kesepakatan tersebut sebagai suatu akta perdamaian.
Jika mediasi di pengadilan menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator secara tertulis merumuskan kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak, dapat langsung dikukuhkan oleh hakim menjadi suatu akta perdamaian. Putusan hakim berupa akta perdamaian yang berisi tentang klausula-klausula yang disepakati mempunyai sifat final and binding dan telah mempunyai kekuatan eksekutorial. Sehingga dengan kekuatan eksekutorial dari putusan hakim tersebut para pihak harus melaksanakan semua klausula-klausula yang disepakati dalam proses mediasi.




Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan:
a. Bahwa untuk dapat menyelesaikan sengketa pertanahan dengan baik harus terlebih dahulu mengetahui aspek dan penyebab timbulnya sengketa pertanaha tersebut.
b. Bahwa mediasi dapat dijadikan alternatif penyelesaian sengketa dalam bidang pertanahan selain melalui penyelesaian di pengadilan.
c. Bahwa prinsip-prinsip mediasi terdapat dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003. Dari penelitian ditemukan beberapa prinsip dalam pelaksanaan mediasi, yakni Prinsip Penyelesaian Sengketa Perdata, Prinsip Kebebasan Memilih Mediator, Prinsip Kerahasiaan Proses Mediasi, Prinsip Pelaksanaan Hasil Mediasi Berdasarkan Etikat Baik, Prinsip Biaya Mediasi Ditanggung Para Pihak, Prinsip Kebebasan Para Pihak Dalam Menentukan Tempat Pelaksanaan Mediasi.
d. Berkaitan dengan sengketa pertanahan, maka prinsip-prinsip mediasi hanya dapat diterapkan bila sengketa pertanahan tersebut sebagai akibat hubungan keperdataan, serta sengketa mengenai ganti kerugian akibat adanya Keputusan Tata Usaha Negara.
e. Agar kesepakatan dari hasil mediasi dapat mengikat para pihak dan mempunyai kekuatan eksekutorial serta tidak menimbulkan sengketa baru, maka diperlukan tindakan hukum selanjutnya dan dalam waktu yang tidak terlalu lama melaksanakan hasil kesepakatan mediasi tersebut.


Saran
1. Mengutamakan proses mediasi dalam menyelesaikan sengketa pertanahan sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
2. Dengan semakin banyaknya sengketa pertanahan di Indonesia, maka perlu ditingkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) mediator yang berkompeten di bidang hukum agraria/pertanahan.
3. Perlu adanya peningkatan SDM bagi aparat pelaksana pelayanan pertanahan sehingga dapat mengurangi timbulnya sengketa.
4. Mensosialisasikan kepada masyarakat pencari keadilan bahwa selain di pengadilan, penyelesaian sengketa pertanahan juga dapat melalui mediasi yang mempunyai prinsip win-win solutions.

DAFTAR BACAAN

Buku Ajar Penyelesaian Sengketa Alternatif, Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Fuady, Munir, Arbitrase Nasional: Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2004.
Murad, Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni, Bandung, 1991.
Sekarmadji, Agus, Penelitian “Alternatif Penyelesaian Sengketa di Bidang Pertanahan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2006.
Soemartono, Gatot, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
Wibowo, Basuki Rekso, Penyelesaian Sengketa Alternatif (Lanjutan), Makalah disampaikan dalam Pelatihan Hukum Bisnis PT. PLN (Persero) DIVRE V Jawa Timur, Surabaya, 19 – 21 Juli 2004.
Winarsi, Sri, Penelitian Lembaga Peradilan Agraria:Restrukturisasi Penyelesaian Sengketa Agraria, 2004.